Sabtu, 10 September 2011

Peran Menentukan Masa Depan Anak dan Bangsa


BERDASARKAN Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 Tahun 1984, telah ditetapkan bahwa setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Sejak tahun 1986 hingga sekarang, peringatan HAN diselenggarakan secara seremonial dengan melibatkan anak-anak melalui berbagai aktivitas oleh dan untuk anak Indonesia. Namun, yang sering kali dilupakan adalah peran ibu sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam perkembangan dan pembentukan karakter seorang anak.

Ibu adalah madrasah pertama, bahkan sebelum seorang anak manusia melihat fana dunia. Kasih sayang ibu telah menyemai di buai rahim. Tidak ada lagi kasih manusia setinggi kasih ibu. Cintanya menjamah setiap insan hingga tumbuh mandiri utuh sebagai pribadi.

Sentuhan lembut tangan seorang ibulah, yang menumbuhkan sesosok bayi kelak menjelma menjadi “manusia utuh”. Untuk melahirkan seorang presiden misalnya, bukan harus dari rahim presiden juga, akan tetapi yang pasti, presiden lahir dari rahim seorang ibu. Dan semua ibu berhak melahirkan seorang pemimpin.

Ibu adalah guru pertama tempat seorang anak manusia belajar hingga memahami kehidupan. Sebelum mengenal siapa-siapa, dengan ibulah, ia pertama kali kita berinteraksi. Bahkan kata yang pertama kali mampu diucapkan seorang anak adalah kata ibu, mama, emak atau panggilan lain yang semakna. Maka, benarlah apresiasi Islam terhadap jerih payah seorang ibu.

Bahwa ibu tiga kali harus kita muliakan sebelum memuliakan ayah. Seperti dikisahkan oleh Imam Bukhari dan Muslim saat seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa manusia yang paling berhak yang aku muliakan?" Nabi Saw menjawab, "Ibumu.” Sahabat itu kembali bertanya terus, “Siapa lagi ya Rasulullah?” ”Ibumu” jawab Rasulullah Saw. “Siapa lagi?” “Ibumu. Kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu.”


Di dalam kitab ad-Durar al-Muntsirah Fi al-Ahâdîts al-Musytahirah Imam as-Suyûthiy mengutip hadits yang berbunyi “Surga itu di bawah telapak kaki ibu.”. Demikian mulia dan urgennya peran seorang ibu di dalam kehidupan ini, maka seharusnya menjadi perhatian kita semua untuk mempersiapkan generasi muda –wanita- yang mampu mengemban amanah besar sebagai seorang ibu yang kelak bisa melahirkan generasi emas untuk bangsa ini.

Pendidikan
Kualitas suatu bangsa tentu berbanding lurus dengan tingkat pendidikan bangsa tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu bangsa maka semakin berkualitas kehidupan pada bangsa tersebut. Dan karena ibu adalah tiang negara dan guru pertama dan utama anak manusia maka seyogyanya tingkat pendidikan mendapat perhatian khusus dari negara.

Misalnya saja sebelum menikah, para calon pengantin wanita diberi training sehingga siap menjadi Ibu dan mendidik anak-anak. Bukan atas dasar materialisme dan melupakan transformasi nilai-nilai moral. Saya membayangkan, jika saja semua ibu di Indonesia bergelar Doktor (S-3) dan ilmu yang mereka miliki ditransformsikan secara sempurna dalam mendidik anak, maka kualitas anak usia SD bisa saja setara dengan S-1.

Akan tetapi ironis, betapa banyak ibu yang bertitel S-3 sementara pendidikan anak-anak, khususnya pendidikan moral, justru dilalaikan. Sebabnya karena ibu tidak lagi menjadi manager rumah tangga, akan tetap sibuk berkarir sekedar untuk aktualisasi diri sehingga lupa tugas utama yang lebih mulia yaitu, menyiapkan generasi emas untuk Indonesia.

Anak Dalam Cengkraman TV
Rumah tangga merupakan benteng pertama dan utama suatu keluarga. Jika dasar-dasar yang diwariskan dari rumah tangga adalah tentang moralitas, spiritualitas, intelektualitas maka generasi yang dihasilkan dari rumah tersebut adalah generasi tangguh.

Pun sebaliknya, jika ternyata rumah tangga gagal mewariskan nilia-nilai luhur, maka generasi yang lahir justru akan terbawa oleh kuatnya arus budaya permisif yang menggelombang, melanda kehidupan sosial kita. Dan adalah ibu, -sekali lagi- memiliki interaksi intens dengan anak-anaknya.

Fenomena kekinian memperlihatkan kepada kita, bahwa di dalam rumah kita, kini ada “ibu-ibu” baru yang siap mengambil alih peran ibu sejati dalam “mendidik” anak-anak. Ya, dialah TV. Dari hasil penelitian, didapati bahwa seorang balita menghabiskan waktu rata-rata 108 menit perhari di depan TV, dan bahkan angka tersebut mendekati satu jam pada anak usia dua tahun.

Di negara-negara maju, 50 persen anak justru memiliki TV di kamarnya sendiri. Sedikit saja lepas dari radar pantau orangtua, pada akhirnya anak tersebut mengidentifikasi dirinya melalui TV. Akhirnya, peran orang tua dalam mendidik dan membentuk karakter anak menjadi nisbi. Kurangnya waktu interaksi antara ibu dan anak-anak menjadi lepasnya kontrol dan peran didik keluarga.

Masa Depan Bangsa
Tidak dapat dipungkiri, salah satu ancaman akibat masuknya budaya luar yang begitu deras melalui pesatnya media informasi adalah punahnya kearifan lokal (local wisdom). Anak-anak masa kini lebih hafal cerita film Transformer atau Harry Potter ketimbang cerita rakyat sarat hikmah seperti Malin Kundang atau kisah-kisah kebesaran Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Demak, dan kekayaan warisan budaya Nusantara lainnya.

Maka, generasi pun tumbuh tanpa mengenal siapa dirinya. Lebih bangga menggunakan identitas orang lain. Lebih senang memakai jeans ketimbang sarung, lebih bangga pakai jas dari pada batik serta sebentuk dekulturalisasi lainnya. Kita pun menjadi bangsa terjajah budayanya.

Indonesia sebagai negeri yang berpenduduk terbesar ke-4 di dunia, memiliki potensi anak-anak yang sangat luar biasa. Dalam struktur penduduk, jumlah anak menembus angka 30 persen dari total penduduk Indonesia. Anak-anak inilah yang kelak menjadi generasi penerus bangsa.

Maka, apa jadinya jika anak tersebut tumbuh dalam cengkraman destruksi budaya, pendidikan terbelakang, dan moralitas yang rusak? Padahal untuk melihat asa depan suatu bangsa, kita bisa pastikan dari kondisi anak-anak di masa kini.

Oleh karena itu, ibu sebagai pemilik teritori, pengelola keluarga, yang harus menjawab tantangan ini dengan mewariskan nilai-nilai leluhur sebagai identitas satu bangsa. Sehingga anak-anak di zaman modern ini, tidak kehilangan jati diri dan tetap teguh di atas warisan kearifan budaya bangsa. Tidak salah jika dikatakan bahwa ibu atau perempuan adalah tiang negara. Kepada ibu, amanah serta harapan masa depan anak dan bangsa Indonesia disematkan.

Jusman Dalle
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
(//rhs)